Sabtu, 19 Maret 2011

PENELAAHAN SIFAT MANUSIA BERDASARKAN LETAK GEOGRAFIS

JAWA

Bahasa jawa adalah salah satu bahasa yang mengagungkan tingkatan (sepetahuan saya,
bahasa Sunda juga demikian, tapi tidak serumit bahasa Jawa). Secara garis besar, bahasa
Jawa dibagi dalam tiga tingkatan besar:

1. Ngoko (tingkatan terendah)
2. Madya (tingkat menengah); dan
3. Kromo (tingkat tertinggi).
Itu pun masih bisa dibali lagi dalam dalam sub tingkatan:
1. Andhap (rendah/kasar); dan
2. Inggil (tinggi/halus).
Tingkatan dan sub tingkatan tersebut menghasilkan kombinasi yang tidak sederhana, njelimet
dan sulit dipahami. Bahkan oleh orang jawa sekali pun.

Ngoko (kasar dan halus) biasanya dianggap sebagai bahasanya masyarakat umum, rendahan,
kuli, petani, atau paling banter antar teman karib (itu pun dianggap tidak pantas digunakan oleh
kaum ningrat). Kromo digunakan oleh kalangan yang dianggap memiliki kasta tinggi, terdidik,
pintar dan waskito. Macam keturunan ningrat, pamong de es be. Madya? Ya, di antara
keduanya. Penggunaan sub kategori kasar dan halus pada masing-masing tingkatan
memerlukan keahlian yang tidak sederhana.

Bahasa macam mana yang kita gunakan dalam menghadapi seseorang, menunjukkan siapa
diri kita. Golongan rendah, atau anak-anak muda harus menggunakan tingkatan bahasa yang
lebih tinggi kepada mereka yang lebih tua atau lebih tinggi derajatnya. Semakin tinggi orang
yang kita hadapi, semakin tinggi pula bahasa yang kita gunakan. Menghadapi golongan
tertinggi, si pengucap harus menggunakan bahasa level tertinggi pula, kromo inggil. Saya tak
tahu, apakah ada yang lebih tinggi dari itu. Sebaliknya, semakin tinggi derajat pengucap, dia
boleh menggunakan bahasa dengan tingkatan yang lebih rendah kepada lawan bicara yang
lebih rendah. Seorang yang berkedudukan tinggi, raja misalnya, boleh-boleh saja
menggunakan level bahasa mana saja yang dia mau. Terus terang, pada tingkat aplikasinya
dalam kehidupan sehari-hari, saya tidak menguasai. Saya termasuk golongan pengguna boso
Ngoko.

Orang jawa yang lihai berbahasa Jawa, terutama dalam tingkatan Kromo, dianggap sebagai manusia berbudaya dan berbudi luhur. Manusia yang tahu roso (halus perasaannya, hal yang sangat penting dalam budaya Jawa), dan bertata-krama. Mereka disebut "Wong Jawa sing njawani", orang Jawa yang hidup secara jawa. Dan itu sebuah kebanggaan tersendiri.


BATAK

orang batak suka berbicara keras (saya tidak setuju dengan kata kasar) adalah karena mereka asal tinggalnya di daerah pegunungan. di mana jarak antara rumah satu dengan yang lain lumayan jauh, dan untuk memanggil orang lain itu harus berteriak agar didengar dari jauh. Ketika berbicara dengan keluarga dirumah pun, nada tinggi tetap dikeluarkan karena kebiasaan. Nah kemudian kebiasaan ini yang dibawa sampai sekarang sampai pada jaman modern dan walaupun sudah tinggal di kota, karena mereka merasa dengan nada yang keras seperti itulah baru mereka puas berbicara, bukan sebenarnya mereka marah - marah. Dulunya pekerjaan orang batak juga kebanyakan menggembalakan ternak di padang gunung. sembari menunggu ternaknya makan rumput, waktu kosong mereka di isi dengan bernyanyi sekeras kerasnya, karena tidak ada siapa - siapa. mungkin itu juga yang membuat kebanyakan orang batak bagus untuk bernyanyi dan berani melancong dan hidup mandiri.

BETAWI

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .

Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.

Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

SUMBER :
http://www.scribd.com/doc/35042635/rasisme-bhs-jawa
http://apakabarsidimpuan.com/2010/05/mengapa-orang-batak-temperamental
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Betawi